RSS

Rabu, 03 Maret 2010

Esensi Mahar,Bukan sekedar cinderamata

Esensi Mahar:

Bukan Sekadar Cinderamata

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. ”

(QS. An-Nisa: 4)

Alangkah indahnya memulai sebuah biduk rumah tangga dengan penuh kasih sayang. Sebentuk hadiah, terlebih bila amat sesuai dengan keinginan sang istri yang diberikan oleh sang suami di awal mahligai pernikahan akan membuka pintu hati istri tentang makna sebuah keikhlasan dan gambaran usaha yang sungguh-sungguh dari laki-laki yang kini menjadi suaminya.

Mahar adalah Harta

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang esensi mahar, mari sejenak kita mengulas cerita pernikahan seorang artis muda Indonesia dengan seorang mualaf yang berasal dari Negeri Kincir Angin: Maudy Koesnaedi & Erik Meijer. Di tabloid Nova tertanggal 30 September 2001, digambarkan sebuah pesta yang begitu meriah dan indah dengan dekorasi dan tema bernuansa Belanda. Terlepas dari segala kemegahan bahkan kekurangan yang terdapat dalam pesta pernikahan mereka, ada satu pelajaran yang dapat kita ambil, yaitu tentang mahar yang diberikan oleh Erik Meijer kepada istri tercinta. Erik memberikan mahar berupa uang tunai 23.901 Gulden (atau setara dengan Rp96.000.000,00 di waktu itu) beserta seperangkat perhiasan, anting dan kalung emas yang bertahtakan berlian (masya Allah!). Semoga Allah memberikan ketetapan iman Islam kepada Tuan Erik agar mampu menjadi imam yang baik, serta menjadikan rumah tangga mereka sakinah, mawaddah, wa rahmah. Aamiin.

Sebuah contoh teladan bagi kita. Sungguh Erik Meijer telah mengikuti tuntunan sunnah Rasulullah Saw. dalam memberikan mahar yang bernilai bagi istrinya. Sangat berbeda dengan budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita —yang sudah jauh mengenal Islam lebih dulu daripada beliau—, yang “gemar” memberikan mahar berupa Al-Qur’an dan seperangkat alat salat. Sungguh, sama sekali saya tidak meragukan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang mulia, pun perlengkapan salat yang menjadi “pakaian kebesaran” untuk menghadap Sang Khalik. Namun, saya pun yakin bahwa mayoritas dari mempelai wanita tersebut sudah memiliki Al-Qur’an dan perlengkapan salat (jika ia bukan mualaf).

Mari kita renungkan kenyataan yang ada di masyarakat. Berapa banyak pasang suami-istri yang membaca Al-Qur’an setiap harinya? Atau seberapa sering sang suami salat berjama’ah dengan sang istri dengan mengenakan perlengkapan salat yang diberikan? Seringkali Al-Qur’an dan seperangkat alat salat dijadikan simbol kesalihan saat pernikahan. Namun setelah itu, tak jarang Al-Qur’an hanya disimpan rapi di lemari, jarang disentuh, apalagi dibaca, dihayati, dan diamalkan. Menyedihkan! Bahkan, seringkali saya jumpai mahar dengan dua benda tadi seringkali justru menjadi pajangan di rumah karena dinilai terlalu berharga atau memorable untuk dibaca dan dikenakan. Sungguh ironis!

Saya belum pernah membaca kisah para sahabat yang memberikan mahar kepada istrinya sebagaimana trend yang berkembang di masyarakat kita saat ini. Kisah yang ada di zaman sahabat, jika ia kaya, maka mahar yang diberikan adalah harta terbaiknya berupa kemewahan yang dimiliki. Begitu pula jika ia miskin, maka ia berikan harta terbaik yang ia miliki. Atau jika ia benar-benar tak memiliki harta, maka ia boleh memberikan “Hafalan Al-Qur’an” sebagai maharnya kepada sang istri. Mahar yang kemudian menjadi “jasa” untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada sang istri.

Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., pengasuh rubrik ”Ustadz Menjawab” di eramuslim.com mengatakan bahwa pada hakikatnya mahar itu adalah harta (bagi sang istri) yang dapat dinilai dengan uang, bukan sekadar simbol belaka, apalagi cinderamata. Dengan harta atau uang tersebut, mahar dapat dikatakan memiliki fungsi ekonomi bagi seorang istri. Ia menjadi sebuah jaminan finansial bagi kehidupan sang istri kelak. Itulah mengapa Rasulullah Saw. membolehkan untuk mencicil mahar karena pada dasarnya memang harga mahar itu mahal dan dapat dinilai dengan uang.

Saya pun pernah mendengar dari abang-abang yang pernah berkuliah di Iran mengatakan bahwa di sana “harga” seorang wanita sangatlah mahal. Bagi para adam yang sudah berkeinginan untuk menikah namun belum mampu memenuhi permintaan mahar dari pihak wanita maupun keluarganya, mereka pun mengajukan permohonan untuk dapat mencicilnya.

“Mahar kemudian menjadi hak milik sang istri secara penuh, bukan harta bersama dengan penggunaan di bawah kendali sang suami”, ujar Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. Kepemilikan mutlak mahar bagi seorang istri menyebabkan mahar bukanlah termasuk ke dalam harta gono-gini yang harus dibagi bila terjadi perceraian (na’uudzubillaah!). Dengan kepemilikan yang demikian, maka mahar bisa menjadi modal bagi kehidupan seorang istri bila sesuatu terjadi dari perkawinannya, entah karena suaminya meninggal dunia atau karena ia diceraikan (na’uudzubillaah!). Karena pada kenyataannya tidak semua istri bisa mandiri secara finansial, maka akan lebih berguna lagi bila mahar yang diberikan berupa harta yang produktif, mungkin kendaraan yang bisa dijadikan penghasil finansial, seperti angkot, atau harta tak bergerak yang menjadi modal usaha, seperti bengkel, fitness centre, salon & kolam renang muslimah, restoran, rumah kontrakan, kafe buku, dan lain-lain (hehe... contoh-contoh yang aneh ya? ^_^)

Jadi, mahar ini jangan hanya dianggap sebagai sebuah cinderamata atau tanda mata saja. Bicara sah atau tidak sah, salah atau tidak salah, pemberian maskawin (mahar) berupa Al-Qur’an dan seperangkat alat salat memang tidak ada salahnya, dan pernikahan tetaplah sah. Akan tetapi, yang perlu dicatat di sini adalah fungsi ekonomi sebuah mahar bagi istri tentu saja tidak terpenuhi (apalagi kalau sekadar uang sejumlah 1111 misalnya, itu sih main-main... Padahal mencari uang Rp1,00-nya saja sudah susah... ^_^, kecuali bagi para penjual uang kuno atau bagi mereka yang bekerja di instansi pembuat uang kali ya?)

Batasan Jumlah Mahar

Sebagian ulama ada yang memberi batasan terhadap jumlah mahar, namun sebagian besar tidak. Hal ini sebagaimana tergambar dalam kisah pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Saat itu, Umar pernah membatasi jumlah mahar tak boleh lebih dari 400 dirham. Akan tetapi, pernyataan tersebut ditentang oleh seorang wanita sembari mengutip QS. An-Nisa, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain (mengawini istri yang baru), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” Mendengar hal ini, Umar bin Khattab pun mengakui kekhilafannya dan berkata, “Wanita itu benar, akulah yang salah” (Majalah Ummi edisi spesial 2008). Bagaimana tidak? Allah sendiri memungkinkan pemberian “harta yang banyak” dari suami kepada istrinya, lantas mengapa pula manusia membatasinya?

Rasulullah Saw. sendiri, yang hidupnya dimanteli kesederhanaan, memberi mahar untuk istrinya dengan jumlah yang cukup besar, terutama untuk ukuran masyarakat Indonesia saat ini. Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman ra. Bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah ra., ‘Berapakah besar mas kawin Rasulullah Saw.?’ Ia menjawab, ‘Mas kawin beliau kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiyyah dan satu nasy. Tahukah engkau apa itu satu nasy?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Dia menjawab, ‘Setengah uqiyyah, jadi semuanya lima ratus dirham. Inilah mas kawin Rasulullah Saw. kepada istri-istrinya.” (HR. Muslim). Bahkan untuk Khadijah ra., Rasulullah Saw. memberikan mahar 20 ekor unta merah, di riwayat yang lain 70 ekor, bahkan pada riwayat lain lagi sebanyak 100 ekor unta merah yang merupakan alat transportasi paling mewah di masa itu (Hehe, coba bayangkan kalau diberi mahar 100 buah mobil Land Cruiser yang per buahnya seharga lebih dari 1,6 miliar. ^_^)

Disebutkan pula oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Maad, bahwa Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah Saw. menikahi seorang pun dari istrinya dengan mahar kurang dari 12 uqiyyah.” (HR. Tirmidzi). Begitu pun dengan para sahabat yang memberikan mahar kepada para istri mereka dengan jumlah yang beragam, seperti Abdurahman bin ‘Auf yang menikahi wanita Anshar dengan mahar emas sebesar biji kurma, Tsabit bin Qais yang memberikan mahar berupa kebun, atau seorang lelaki —dalam HR. Abu Dawud— yang memberikan mahar kepada istrinya sebuah kebun yang berharga seratus ribu dirham. Mahar Ali bin Abi Thalib ra. kepada Fatimah Az-Zahra ra. Adalah sebuah baju besi huthamiyah yang saat itu berharga amat tinggi. Sebaliknya, karena kemiskinannya, ada pula laki-laki yang memberi mahar sepasang sandal. Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sandal, lalu Rasulullah Saw. bertanya, “Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sandal ini?” Ia pun menjawab, “Rela.” Maka Rasulullah Saw. pun membolehkannya. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Atau ada juga seorang laki-laki, juga karena kemiskinannya, memberikan mahar berupa pengajaran beberapa ayat Al-Qur’an kepada istrinya, yang dikuasainya dengan baik. (HR. Bukhari-Muslim). Ada pula seorang laki-laki yang tidak memiliki harta apa pun untuk diberikan sebagai mahar kepada calon istrinya, Rasulullah Saw. tidak menolak untuk menikahkannya dengan mahar berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihafalnya. Maka beliau pun bersabda, “Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal.” (disarikan dari hadits yang sangat panjang dalam Kitab Shahih Bukhari Jilid IV, hadits no. 1587)

Berbagai riwayat tersebut menggambarkan bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabat lebih memprioritaskan mahar yang memang berfungsi secara ekonomi, artinya yang memiliki nilai nominal. Akan tetapi, pada kondisi kemiskinan, di mana pihak laki-laki tak memiliki harta apa pun yang berharga untuk dijadikan mahar, ternyata mahar dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun dapat diterima, seperti sepasang sandal. Tentu saja dengan diiringi keridhaan wanita yang akan dinikahinya sebagaimana yang dilakukan oleh wanita dari Bani Fazarah tadi.

Mahar Murah Vs. Materialisme

Dewasa ini, memang seolah ada kecenderungan untuk menganggap mahar hanya sebuah tanda mata saja. Bahkan, karena khawatir dinilai matre atau sejenisnya, pihak istrilah yang terkadang merasa sungkan untuk meminta mahar bernilai tinggi. Tentu lain halnya bila pihak suami termasuk golongan miskin.

Semua ada ukurannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 236, “Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ustadz Ahmad Sarwat pun meluruskan makna dari hadits berikut ini, “Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya. “ (HR. Ahmad). Menurut beliau, hadits ini merupakan reaksi Rasulullah Saw. terhadap kebiasaan wanita-wanita Arab dulu yang menyaratkan mahar yang teramat besar bagi lelaki yang ingin menikahinya. Sementara pada masyarakat kita yang memang tak biasa menyaratkan mahar yang bernilai besar, apakah lantas harus semakin dimurah-murahkan, sementara sang suami sebenarnya mampu memberikan lebih?

Dalam Islam, permintaan dan pemberian mahar sangat berbeda dengan sifat materialistis. Ini adalah ajaran Islam yang penuh hikmah, yang bertujuan untuk melindungi dan memuliakan wanita, serta memperkokoh keluarga. Maka, nilai ekonomis mahar sebagai jaminan kehidupan bagi seorang istri haruslah menjadi bahan pertimbangan karena Islam sangat menghargai dan melindungi kaum perempuan. Mahar adalah penjamin atas perpindahan tanggungjawab seorang wanita dari ayahnya kepada seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya. Namun, perlu saya sampaikan pula bahwa permintaan mahar yang terlalu tinggi juga akan menghambat pernikahan, sebagaimana yang terjadi di negera-negara Teluk Persia sekarang ini. Sampai-sampai pemerintahnya harus turun tangan memberikan subsidi bagi para bujangan yang ingin menikah agar dapat segera menikah.

Jika sang calon suami berupaya untuk memberikan mahar terbaik, sementara sang calon istri tidak menuntut permintaan yang terlalu tinggi melampau kemampuan sang calon suami, alangkah indahnya...

Wallaahu a'lam bisshawab. Semoga Bermanfaat. ^_^

taken from :

http://deraplangkahbiri.multiply.com


Berani Jatuh Cinta

-Asti Latifa Sofi-


Cinta Aktivis Dakwah

Cinta, betapa telah beribu definisi mengutarakannya, betapa telah berjuta lagu menyenandungkan iramanya, betapa telah banyak sinetron picisan yang menayangkannya. Saya tak akan mendefinisikan tentang cinta. Cukup sudah orang berdebat tentang makna cinta. Akan tetapi di sini, saya ingin menyentuh salah satu cinta, cinta antar-aktivis dakwah. Bahkan mungkin kita semua pernah merasakannya.

Ia tidaklah semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi saya, dan mungkin Anda, perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang telah Allah tetapkan bagi para pejuang dakwah. Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itu pula yang kemudian mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka, jagalah perasaan itu agar tetap suci dan mensucikan.

Perasaan itu hadir tanpa pernah diundang dan dikehendaki. Ia muncul, menyembul secara tiba-tiba. Jatuh cinta bagi para aktivis dakwah bukanlah perkara yang sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta merupakan gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah kenaikan marhalah pembinaan. Sementara itu, dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukkan kepada sunnah Rasulullah SAW dan jalan meraih keridhaan Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Tentu saja, bukan dengan pelegalan istilah “Pacaran Islami” yang diada-adakan itu. Jelaslah di sini bahwa Allah, Rasulullah, dan jihad fii sabiilillah adalah destination yang utama. Jika sudah berada dalam keadaan tersebut, maka menjadi berkahlah perasaannya, berkah cintanya, dan berkah pula amal yang terwujud dalam kerangka cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta itu hanya akan menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan yang lebih berbahaya adalah fitnah bagi dakwah. Karenanyalah, sekali lagi, jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara yang sederhana. Ada tanggung jawab yang begitu agung di balik perasaan agung ini.

Bagi para akhwat yang terpikirkan sang ketua rohis, atau sang ikhwan yang terus saja membayangkan si kerudung biru, misalnya, di sinilah gharizah an-na’u tengah muncul. Saat itulah cinta ‘lain’ turut menyeruak dari dalam dirinya. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yang jelas. Sebabnya adalah terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi para ktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, yang tentu saja tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Bahkan, RA. Kartini pun pernah menarasikan intonasi cinta ini dengan indahnya, “Akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada di samping lelaki yang cakap dan cerdas. Akan lebih banyak kata lagi yang akan meluncur, daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri…”. Sungguh, betapa perjuangan itu (terutama bagi saya ^_^), tak bisa lepas dari dukungan pasangan hidup.

Cinta bagi aktivis dakwah memiliki dua mata pedang. Satu sisinya menyimpan rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan sisi yang lain merupakan gerbang fitnah. Oleh karena itulah, jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Jatuh cinta yang akan menghantarkan kepada keabadian cinta sehingga umat selalu merasakan perpaduan energi cinta ini melalui perjuangan kita bagi kemuliaan Islam.

Mari Deklarasikan Cinta Kita!

Bila selama ini seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadian manusia, maka sudah selayaknya cinta pun mendapat tempat yang utama. Ia memiliki hak untuk dideklarasikan dalam koridor yang bersih dan suci. Dunia telah menyenandungkan serinai hitam-kelamnya cinta. Kerusakan generasi hari ini, tak lain dikarenakan kesalahan penafsiran akan cinta. Betapa cinta selama ini telah menjadi candu dan didewakan, sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan sebagai jalan menuju jannah dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat yang spesial.

Narasi “Pacaran setelah Pernikahan” tampak begitu asing bagi masyarakat kita. Sangat sulit orang awam mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Maka, di sinilah aktivis dakwah kembali memainkan perannya. Adalah suatu alasan yang sangat penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada Sang Penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan, dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang berlaksa. Cinta yang berorientasi bukan sekadar jalan berdua, nonton, candle light dinner, dan seabrek romantika yang berdiri di atas pengkhianatan terhadap nikmat, rizki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita. Ya, cinta yang akan membuat iri seluruh penduduk langit.

Cinta aktivis dakwah, marilah kita jadikan sebagai proyek penjabaran kepada masyarakat sehingga mereka tidak hanya mampu melihat hasil akhir terbentuknya keluarga dakwah. Biarkan mereka memahami tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat terhadap ikhwan, tentang cinta sepasang aktivis, tentang romantika pengusung dakwah, dan tentang landasan ke mana cinta itu seharusnya bermuara. Inilah agenda topik yang harus banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat luas berikut mekanisme yang menyertai sehingga mereka kian memahami deskripsi akan proses panjang yang melahirkan keluarga paripurna saat ini.

Dan Alunan Cinta pun Terjalin Indah

Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yang telah menjual diri sebagai kafilah dakwah, setiap kita yang berikrar Allaahu Ghayatunaa, maka jatuh cinta sudah selayaknya dipandang sebagai jalan jihad yang akan mengantarkan diri menuju cita-cita tertinggi. Perasaan yang demikian istimewa. Perasaan yang mampu menempatkan kita ke dalam suatu tahapan yang lebih maju.

Inilah epilog cinta yang akan mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan oleh Rasulullah. Dengan perasaan ini, kita dapat memperluas ruang dakwah. Melalui perasaan ini pulalah, kenaikan marhalah dakwah dan pembinaan akan tercapai.

Betapa Allah, Tuhan para pecinta, sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman yang terpilih. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan. Dengan cinta itu juga mereka menghiasi bumi dan kehidupan di atasnya. Dan dengannya, Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak yang saleh dan salehah, yang akan memberatkan kalimat Allah di muka bumi. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Jadi, saya pun dapat berkata “Saya berani jatuh cinta. Terima kasih, Cinta…”

Wallaahu a’lam. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Amiin...^_^


taken from :

http://deraplangkahbirumultiply.com